11 Desember 2012

sanity through insanity

 "jadi kamu berharap hidup sampai kapan?"
tanya dokter tersebut kepada kawan saya yang peminum berat sejak dari remaja.

teman saya tentunya menjawab ya selama mungkin.

dokter tersebut menggaruk-garukan dahinya yg berkerut sembari memandang foto rongent teman saya

"hmm.. mau berapa lama? 20tahun? 30 tahun? biar saya beri tahu satu hal, kamu gak akan melewati 40 tahun."

JEGLEKK!! vonis telah di jatuhkan.

kami terdiam.


Sungguh gila!

kegilaan yang menumbuhkan kewarasan.
lalu apakah kegilaan di perlukan?

setitik kekacauan di perlukan untuk menumbuhkan tunas-tunas kedewasaan.

Kita bisa lihat contoh pada kasus kisruhnya persepakbolaan nasional kita.
Organisasi yang kacau dan terbelah dua menghasilkan suara suporter yang bersatu.

semua meneriakan nyanyian sumbang yang lama tidak kita dengar.
nyanyian bernama persatuan.

kita berbagi rasa sakit hati dan kebanggaan yang sama.

kita sebagai suporter dipersatukan, dan di dewasakan oleh sebuah kekacauan. 
oleh sebuah kegilaan.

tanpa kegilaan, kedewasaan itu tidak akan tampak.

kegilaan orde tiran selama 32tahun  membuat kita semua berani turun berbicara lantang ke jalan untuk melawan.
 
masih terekam dengan jelas di kepala saya, teriakan gegap gempita para rakyat ketika beliau memutuskan mundur saat itu..

semua berbagi kebahagiaan yg sama..



Fasisme gila membuat timur yang dingin dan barat yang bebas, bersatu.

Tanpa kejatuhan eropa, asia tidak akan di lirik dunia.

kalau bukan karena joker sakit jiwa, apa penduduk gotham akan saling peduli?




------

kegilaan jelas diperlukan...untuk menjaga agar kita tidak gila.

sama seperti dokter yg ada di awal tulisan ini.

dokter itu tidak memaksa kawan saya untuk berubah.

dia memberi kebebasan pada pasiennya sendiri untuk melakukan hal yg dianggap terbaik bagi diri mereka sendiri.

Dokter itu terlalu gila.

tapi berkat kegilaannya itulah, kawan saya berhasil meraih akal sehatnya kembali.

sejak saat itu dia berhenti minum minuman keras, merokok, dan mulai mencoba hidup sehat.

yaah, gak ada kata terlambat untuk berubah kan?
:)



bagi saya pribadi, setetes kegilaan atau chaos diperlukan bagi kehidupan..

tanpa kegilaan kita tidak akan menjadi apapun..

03 Desember 2012

Aku ini Anjing. Benarkah?

"Ya. Aku orang bejat. Aku ini anjing. Tapi akuilah dirimu sebelum dikemas dalam kesantunan dan kemunafikan .." -Sudjiwo Tedjo-

Sebuah pernyataan yg cukup membuat terhenyak..
pernyataan yg menarik,  dan membuat kita jadi bertanya ke diri kita sendiri..

BENARKAH KITA INI ANJING?

Anjing. entah kenapa hewan satu ini di anggap hina oleh masyarakat kita. Mungkin karena sebagian dari tubuhnya adalah najis, atau karena memang gaya hidupnya yang menjijikan.

jules winfield di film pulp fiction pernah bilang
"dog is filthy, but it has personality, and personality goes along way"


personalitas anjing.satu-satunya hal yg membuat dirinya satu tingkat lebih baik daripada babi.

jelas saya nggak membicarakan anjing sebagai keberadaan suatu makhluk, tapi anjing sebagai sebuah pribadi.
Pernah kah kita mendengar kata anjing? pasti pernah.

Kata "anjing" sendiri bisa bermakna sebuah hinaan sperti yg terjadi pada kasus suporter malaysia di piala aff kemarin.
namun bisa juga menjadi simbol keakraban bagi kawan-kawan yg di bandung.

kenapa kita merasa naik darah ketika mendengar "anjing" versi suporter malaysia namun tertawa ketika mendengar "anjing" versi anak bandung? padahal itu kata yg sama.

jawabnya konteks. kontekslah yg membedakan itu.

seorang teman saya pernah berkata " saya gak akan pernah mau mengatakan dan dikatakan anjing, asu, atau apalah itu semua.. persetan itu ungkapan ke akraban, anjing tetaplah anjing. dan itu gak sopan"

si teman mungkin menganggap sebaiknya manusia jadilah manusia, jangan terbawa oleh sifat anjing sebagai makhluk material yang najis. oke, masuk akal.

tapi apakah itu berarti kita sudah lepas dari sifat-sifat non-material ke-anjing-an kita?

jawabnya lagi-lagi, tegantung konteks.

konteks anjing dalam diri setiap orang pastilah berbeda-beda. bahkan ada yang menganggap dirinya lebih anjing dari yang lain atau sebaliknya.
permasalahannya adalah, sangat sedikit dari kita yang berani mengakui kalau dirinya adalah anjing.

Seorang affandi dengan berani dan polos mengatakan dirinya adalah seseorang bodoh yang gak mengerti teknik melukis, (yeah, i think he just a lucky bastard) tapi ia gak pernah mengakui sifat-sifat keanjingan dalam dirinya.

dia yang mengagungkan nilai sebuah lukisan sebagai karya agung yang pantas untuk dinikmati kemudian menjual keagungannya itu demi sesuap nasi, mobil sport mewah, dan ketenaran, apakah tidak anjing?


sama seperti kebanyakan kita. kita sering mengakui kalau kita brengsek, manusia tolol dan sebagainya.. kita akui semua kejelekan kita....kecuali anjing.

"ah memang anjing kau" kata seorang bapak-bapak batak ke koleganya. rupanya bapak itu kesal, kenapa si kawan ini begitu kuat sifat ke anjing annya..
tapi tak ada balasan "maaf, tapi memang aku ini anjing."

Saya pribadi mengakui saya memiliki sifat anjing. tapi diluar itu saya juga punya sifat yang lain.
menjadi manusiawi bukan berarti cuma menerima segala hal yang "manusia" saja. 
tapi lebih menerima dengan sepenuh hati sifat-sifat suci dan sifat-sifat hina kita.

kehinaan yang di balas dengan kehinaan hanya akan melahirkan penghinaan dan penistaan yang lain.
sudah cukuplah kita terkotak-kotak dalam urusan keyakinan. karena memang sebaiknya begitu. tapi rasanya tidak perlu lagi kita mengkotak-kotakan nilai kita sebagai sesama manusia.

kenapa daripada sibuk mengorek sifat nista orang lain, kita tidak sibuk saling mengorek koreng-koreng najis yang ada dalam diri kita sendiri dan saling mengakuinya..?

hal yang paling dekat adalah mari kita bertanya dan berbicara ke orang terdekat kita, yaitu diri kita sendiri.
coba kita bongkar lagi.. kita kais-kais lagi..
dan kumpulkan keberanian untuk sebuah pengakuan..

"Benarkah kita ini anjing?"